Uuugh...
Siang
memang selalu membuat debu-debu bergolak. Berbaur dengan angin kering
dan panas, serta membawa aroma busuk dari got yang penuh jejalan sampah.
Namun kaki kecil itu tetap melangkah dengan gembira, karena baginya
jalanan bagaikan sebuah taman yang indah dan menyenangkan. Sesekali kaki
telanjangnya menendang kerikil kecil. Mata menatap awas ke bawah,
berharap ada uang koin yang terjatuh di jalanan.
Kulitnya
hitam legam karena selalu bermandikan panas yang menyengat. Wajah dekil,
dihiasi ingus yang meleleh dari hidungnya. Terkadang disekanya ingus
itu dengan tangan, lalu digosokkan di celana pendek bulukan yang
membungkus pahanya. Baju kaosnya compang-camping, tak mampu
menyembunyikan tubuh yang penuh bekas korengan.
Sayup
didengarnya hiruk-pikuk dari kejauhan, semakin dekat semakin jelas
terdengar. Suara terompet, deru suara motor dan mobil, klakson yang
bersahut-sahutan, gegap gempita memekakkan telinga. Laki-laki kecil itu
kaget bukan kepalang, namun rasa ingin tahu membuatnya juga ikut
berjubelan di pinggir jalan.
Dikucek-kucek matanya yang
masih ada belekan, tak percaya dengan apa yang terpampang. Mobil dihiasi
bunga-bunga, puluhan motor bersileweran, hingga becak-becak yang
dipasang hiasan indah. Semua terlihat begitu semarak dan meriah,
ditimpali suara dari beberapa megaphone yang meneriakkan yel-yel
dukungan. Tampak pula banyak poster bergambar seseorang, serta spanduk
beragam ukuran yang diusung mereka.
Peserta karnaval lalu
melemparkan banyak bungkusan ke pinggir jalan, sambil mengajak penonton
untuk ikut menirukan yel-yel mereka. Tak lama tubuh kecilnya gesit
bergerak di sela keramaian, seraya tangan mengambil beberapa bungkusan
yang tak sempat ditangkap orang dewasa.
Ia menjerit
kegirangan, di tangannya tergenggam bungkusan-bungkusan kecil gula, teh
dan kopi bergambar seseorang serta lambang sebuah partai. Begitu
senangnya, hingga dengan suaranya yang jernih ia pun ikut-ikutan
meneriakkan yel-yel dukungan, walaupun tak mengerti apa maksudnya.
Peserta
karnaval perlahan-lahan menjauh dari pandangannya. Anak kecil itu
meneruskan langkah, kembali berjalan dengan wajah yang semakin ceria
karena di kantong celana penuh berisi bungkusan. Matanya tak lagi
memandang ke bawah, tapi asyik melihat aneka bendera dan baleho yang
dipasang di mana-mana. Kertas-kertas beraneka warna juga tak kalah
banyaknya, di tempel di tiang listrik, kotak telepon umum, bahkan di
pepohonan.
Ia benar-benar tak mengerti, ada apa hari ini.
Tiba-tiba telinganya menangkap suara musik dangdut yang dibawa oleh
angin. Laki-laki kecil itu pun berlari sekuat tenaga menuju sumber
suara. Ia terperangah. Dilihatnya sebuah panggung besar di lapangan
terbuka dan beberapa tenda yang dipasangi umbul-umbul dengan warna yang
sama.
Suara musik yang berdentam-dentam menggoda dirinya
untuk bergerak, menyempil di antara kerumunan orang hingga tiba di
bagian depan. Kepalanya mendongak, dan di atas panggung terlihat seorang
wanita yang berpakaian menyala, senada dengan warna umbul-umbul yang
menghiasi tenda. Wanita itu meliuk-liukkan pinggulnya sambil bernyanyi,
asyik berjoget ditemani beberapa orang laki-laki. Bahkan seseorang di
antara mereka, laki-laki umuran dengan perut gendut, sesekali merangkul
wanita yang terlihat genit itu.
Anak laki-laki itu pun
berjoget bersama yang lain mengikuti irama dangdut. Ia begitu semangat,
bertelanjang dada hingga tampak tulang rusuknya. Keringat bercucuran
membasahi tubuh, membuat dirinya bertambah dekil dan lusuh.
Tak
lama musikpun berhenti. Di atas panggung bapak yang berperut gendut itu
terlihat berpidato, sambil melempar-lemparkan aneka rupa bungkusan yang
bergambar dirinya dan sebuah partai. Orang ramai pun saling berebutan,
tak lupa memuji dan menirukan yel-yel dukungan.
Tiba-tiba
ia terkesiap, bapak itu menunjuk sambil memerintahkan beberapa satgas
yang berpakaian ala tentara untuk membawanya ke atas panggung. Ia
menurut saja, apalagi orang-orang bertepuk tangan dan berteriak-teriak
membuat suasana seperti ada pesta. Bapak itu lalu menggendong tubuhnya
yang kecil sambil berpidato dengan lantang bahwa partainya akan selalu
membela kaum susah.
Ia meronta. Bau bapak itu busuk
sekali, bahkan lebih busuk dari tumpukan sampah tempatnya bermain
sehari-hari. Namun gendongan tak dilepaskan, bahkan dikeluarkannya
beberapa lembar uang kertas bergambar Soekarno-Hatta, lalu diselipkan di
kantong celana anak kecil itu seraya memamerkannya kepada orang ramai.
Walaupun hatinya senang dikasih uang, tapi bau busuk tersebut membuatnya
tak tahan. Syukurlah, tak lama bapak itu pun melepaskan gendongannya.
Anak
kecil itu senang sekali, ia tertawa-tawa dengan gembira sambil
melangkah pergi. Di kantongnya kini tidak hanya ada banyak bungkusan,
tapi juga sejumlah uang. Baju kaosnya pun baru, walaupun tampak
kebesaran. Di sebuah rumah makan ia berhenti, dan memesan beberapa
bungkus nasi.
Malam itu, di sebuah rumah kardus yang
bersebelahan dengan rel kereta api tampak ada kenduri. Mereka bahagia,
makan dengan lauk daging dan ayam yang selama ini hanya pernah di
angan-angan. Laki-laki kecil itu juga tak habis-habisnya bercerita, ia
bangga bisa membelikan nasi bungkus untuk kenduri di keluarganya yang
tercinta. Lalu mereka pun tertidur pulas dengan perut kenyang.
Wuah...!!!
Suara
ribut tetangga kiri kanan membuatnya terbangun, dan tampak mereka
berhamburan ke jalan. Anak kecil itu pun tak tahan sehingga juga ikut
berjubelan. Matanya kembali berbinar senang, ada karnaval, pikirnya.
Dilihatnya peserta karnaval banyak yang berbaju putih, bersih dan rapih.
Tak ada lemparan rokok, gula, teh atau kopi, namun mereka terlihat
tersenyum tulus menawan hati. Wajah mereka terlihat cerah bercahaya,
bersemangat membawa perubahan.
Ia senang sekali, walaupun tahu malam ini mungkin di rumahnya tidak ada kenduri lagi.
RINGANKAN TANGANMU UNTUK BERBAGI RASA......
SERIBU UANG RECEH BUAT KITA SANGAT BERHARGA BAGI MEREKA....
LIFE IS BEAUTIFUL TO ALL...
NOT THAT YOUR NUMBERS WILL SMALL.IN FACT YOU WILL BE MUCH LARGER IN NUMBER....